Kacanya transparan, dari dalam kereta, kita bisa lihat keluar. Hujan. Ia membasahi kaca kereta dari luar. Pemandangan pun menjadi tak nampak jelas. Namun hangat terasa di dalam. Kereta eksekutif yang kupesan, hmm berbeda memang.
“Tahu apa kamu soal bangsa ini?”
“Apa yang salah? Kita bangun teknologi, aku akan mengusulkan ke Abi untuk lebih menekankan kurikulum pesantren untuk bisa menyaingi teknologi negara barat, sehingga kita tak perlu mengemis atau dibodohi tuk selalu membeli teknologi mereka. Aku yakin, kita bisa mandiri dengan itu!”
“Hahaha..”
“Apa yang kau tertawakan??” Aku pun kesal dengan sikap Fahim yang sepertinya kontra dengan pendapatku.
“Kok melengos ?”
“Ngga kok. Lalu apa alasanmu menolak argumenku tadi?”
“Dirar, pemikir Indonesia itu selalu berpikir. Bagaimana merubah Indonesia, kenapa bisa bobrok seperti ini. Negara kaya kok jadi negara miskin, kenapa ini?”
“Ya.. karena kita selama ini hanya membeli teknologi barat, membeli dengan uang yang mereka pinjamkan. Kita dibodohi karena kita miskin teknologi. “
“Jadi menurutmu, kita gencarkan teknologi tak hanya di sekolah negeri, tapi juga perlu digencarkan di semua pesantren? Hahaha..“
Sungguh tertawanya membingungkanku, ekspresi wajahnya tak bisa ditebak.
“Itu misiku Him, ada yang salah?”
Hujan turun begitu derasnya. Suaranya mengganggu pembicaraan kami. Aku menyeruput the manis hangat yang kupesan tadi.
Kita rendah karena teknologi, dan bisa menjadi besar pun karena teknologi (pikirku mendalam).
“Dirar. Kamu tau? Pemikir-pemikir Indonesia itu sudah berpikir tho? Semua aturan sudah dipraktekkan. Semua pemikiran sudah dicoba. Namun apa hasilnya?”
Aku membiarkan pertanyaan itu, yang menurutku hanya pertanyaan retoris. Hingga hening beberapa saat.
“Akar masalah ini semua, kamu tau apa? Bukan pada teknologi.. Tapi sebenarnya kerusakan ada pada mental mereka, ada pada akidah mereka..”
“Akidah kita kuat, Islam, the best way of life. Jumlah kita pun sudah banyak. Demografi umat Islam dunia terus meningkat.”
“Siapa bilang?? Akidah kita lemah! Makanya bobrok semua!”
Ekspresi ini sangat kupahami, kesal, amat kesal bercampur marah, namun..
“Banyak masalah dalam pendidikan kita, banyak masalah dengan mental2 kita. Mau tau cerminan bagaimana akidah kita? Menangis saya Rar, melihat malam tahun baru kemarin dari berita2 di media. Hiruk pikuk mereka itu, siapa mereka? Kebanyakan orang Islam! Menunggu jam 12 malam, ngapain? Demi nyalain petasan! Banyak orang Islam terlibat sampe bermacet-macet di jalanan. Ini jelas menunjukkan, akidahnya masi h lemah..!”
“Kok sewot gitu Him?”. Entah kenapa tiba-tiba saja intonasi bicara Fahim meningkat. Lelaki yang duduk di sebelah Fahim pun mengernyitkan dahi.
“Saya sedih Rar, banyak orang masih berpikiran seperti kamu. Lebih-lebih kamu, anak pemilik pondok pesantren. Kalau bukan kita yang membenahi akidah bangsa ini, yang notabene dipahamkan agama sedari kecil, lantas siapa?”
“Kenapa kamu jadi memarginalkan kebutuhan akan teknologi?”
“Kalau bicara teknologi. Cukup. Kamu tau? Habibie kemarin nangis, karena 30ribu anak Indonesia, yang lulus pendidikan tinggi, mereka pindah keluar negeri, mencari nafkah di tempat lain. Karena Indonesia tidak bisa menampung mereka.”
“Seorang professor ahli di bidang teknologi, gajinya cuma 3juta. Bisa apa dia dengan uang segitu??” , sambungnya.
“Makanya, kita bentuk kader2 berakidah Islam untuk juga mempelajari teknologi..! Bukannya begitu??”. Aku pun terbawa hawa pembicaraan yang makin menaik suhunya.
“Oke, begini..Lihat urgensinya Rar. Tadi kamu bilang teknologi yang akan menjadi fokusmu. Jika begitu, ilmuwan yang kita miliki banyak . Kamu tau? Sekitar 40% ilmuwan di amerika eropa itu muslim. Kalau ssaja 40% itu mempunyai jiwa Islam, yang memperjuangkan Islam. Akan terjadi perubahan yang tidak bsia kita perkirakan. Tetapi kebanyakan mereka hanya cari hidup, cari aman, untuk mengembangkan ilmunya, bukan untuk Islam. Mereka tidak sadar untuk memperjuangkan Islam, dan itu yang harus kita sadarkan. Dan itu masalah akidah.”
“Oke, hmm..”. Merilekskan dahiku.
“Kalau mereka bener akidahnya, mereka akan menggunakan ilmunya untuk memperjuangkan akidahnya. Tidak perlu pesantren2 dimasukkan teknologi yang tinggi semuanya. Tetapi yang diperlukan, adalah menampung orang2 yang memiliki kemampuan teknologi itu, agar mempunyai jiwa Islam. “
“Dan satu hal Dirar. Pengkotak-kotakan untuk mengumpulkan mereka yang serumpun namun berlainan akidah tak kan menciptakan persaudaraan. Innamal mu’minuuna ikhwah. Hanya orang-orang mukminlah yang bersaudara. ”
Entah..(pikirku)
Aku menyaksikan Fahim kembali mengalihkan pandangnya, kembali tenggelam dalam bukunya.
Emosi yang terjaga, dan dijaga dengan baik, gumamku.
Aku kembali menatap kaca kereta yang masih terguyur hujan, tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Akidah. Umat ini, kini, meski tampak luar begitu banyak nan besar.
Jika berpondasi rapuh, atau bahkan bisa kukatakan, berpondasikan air keruh. Apa jadinya?
Tenggelam dalam kehinaan. Dan..
Innamal mu’minuuna ikhwah. Teringat kembali nahwu sharaf zaman dulu. Inna + ma tak kan menghasilkan arti ‘sesungguhnya’, ia kan bermakna ‘hanya’.
Hanya orang-orang mukmin yang bersaudara.
Ah, kakakku. Mengapa argumenmu selalu lebih logis, lebih matang, dan lebih lebih.